
"Tentang keahlian, saya punya metode sendiri. Berbeda dengan Mbah Maridjan. Saya tetap menyembah Gusti Allah, tapi berbakti juga pada pepunden gunung
Merapi. Tata cara yang saya anut berbeda. Saya berkonsultasi dengan pepunden, bertukar informasi, sehingga sebelum saat peristiwa alam bakal terjadi, saya selalu Saya prihatin masalah alam ini, kemarin bahkan terpaksa agak kecewa.
Sebelum ada gempa bumi di Selatan, saya sudah diberi petunjuk oleh Allah dan makhluk gaib yang menjaga Gunung Merapi. Petunjuk yang saya terima, waktu itu sebelum Gunung Merapi akan menambah volume yang di puncak, tanggal 24 januari maghrib di sini kebetulan banyak tamu, hujan lebat, ada 'orang' bicara pada saya: 'Pokoke iki aku butuh tenaga akeh, duwur arep tak orak-arik. Karena sedang banyak tamu, saya melayani tamu dulu, setelah itu saya bertanya ke atas, sebenarnya ada apa tadi kok marah-marah?'
Petunjuk gaib mengatakan nduwur arep saya obrak-abrik, saya butuh tenaga banyak—yang disebut tenaga itu maksudnya, ya, korban. Saya akan menumpuk material dulu. Tapi setiap saya menumpuk material di atas, saya akan tutup pakai hujan atau kabut. Kalau sudah selesai menumpuk di atas, saya akan turunkan lantaran hujan, sedikit demi sedikit. Selanjutnya, Merapi seolah-olah jadi tontonan.
Itu petunjuk gaib yang saya terima. Saya tetap menyembah Allah, tapi saya juga menjalin persaudaraan dengan makhluk Merapi yang juga makhluknya Allah. Saya bukan menyembah gunung. Saya punya hubungan dengan makhluk Merapi supaya kalau ada apa-apa mereka memberi tahu saya."
Begitulah kisah singkat dari buku Mbah Maridjan, sang presiden Gunung Merapi Oleh F. X. Rudi Gunawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar